facebook

Senin, 08 Agustus 2011

Derawan pulau surgawi....!!!

0

Tiba tiba saja beberapa pria dan wanita berkumpul disebuah warung makan . Terlihat mereka sedang bercerita tentang sesuatu diselingi tawa dan serius. Ada yang membayangkan ada pula wajah yang penuh pertimbangan. Salah satu dari mereka berenam mengeluarkan sebuah kartu nama dari tas hitam nya. Semua mata melihat dengan seksama dan menggilirkan kepada yang lain. Dari gambar kartu nama yang terlihat hanya sebuah penginapan yang menjulur kepantai, menunjukan sebuah tempat. Lalu kembali dengan mimik tegang, tertawa dan pasrah. Akhirnya kubaca dengan pelan kartu nama tersebut terdapat tulisan : Derawan. 19 Juli kala itu hujan turun dengan deras.

“ ayo sudah kita pergi kapan lagi !“ seseorang laki-laki berbadan tambun, berambut pendek ini coba melontar pernyataan.

“ bayar nya berapaan sih ?” disusul kemudian seorang cewek berjilbab bernama Uline ini yang dari tadi kebingungan mencari arah membicaraan.

“harga ini sekian itu sekian” si cowok tadi kembali menjelaskan.

Sedangkan lainya ada yang ikut mencecar berbagai pertanyaan ada pula yang tampak kebingungan. Semakin mereka larut dalam pembicaraan tentang pulau itu hujan turun semakin deras.

“ok, lah dong “ entar kami sms tangga kepastian nya. Kata Achi cewek berjilbab tinggi putih berkacamata ini pada Jidong nama orang yang berambut pendek itu. Seolah ingin menutup dialog rencana liburan mereka.

“ aku sih tinggal packing aja” Dikuti oleh Aris yang isi dikepala nya sudah sepaket dengan Jidong itu. kata yang seolah menegaskan tentang keputusan nya.

“aku izin dulu sama ayahku, mudahan di izinkan” sumbang Fitri , seorang cewek yang lagi bergelut dengan tugas akhir ini jelas sebuah kebingungan antara ikut atau tidak. Cewek ini pula seakan menanggung beban jawaban paling ditunggu.

Sedangkan aku sibuk memainkan dan menjentikan abu rokok ke lantai. Kurang menanggapi pembicaraan mereka. Pikiranku keluar memencar. Semakin sore hujan semakin lebat.

Esoknya kabar itu masuk melalui HP ke inbox berbunyi “ masih jadi pergi ke Derawan kan ? aku ikut.
Sender : Fitri. Ia memforward kepada yang lain. Info kumpul kembali digelar tapi bukan di rumah makan.

Rencana semakin jelas. Ku raih sepeda motor menuju arah Juanda menuju suatu tempat.
“ bu, es pisang Ijo nya satu mangkuk yah” kataku pada penjual itu.Kunikmati semangkuk es pisang ijo diikuti oleh cuaca mendung sebelum mereka datang berkumpul.

Setelah menandaskan semangkuk pisang ijo, ku menuju tempat mereka kumpul. Disana sudah nongol Jidong dan Uline kemudian disusul oleh Aris, Achi dan Fitri. Lengkap mereka membawa harapan tinggi masing-masing. Entahlah. Tinggal menunggu jawaban saya lagi setelah Fitri tentang kesiapan ikut liburan tersebut. Aku hanya membalas dengan senyuman dari agitasi dan tekanan mereka.

“ apa sih masalahmu Ri ?” Uline mencoba mencari solusi. Aku dengar tapi tak menjawab.

“ayo sudah Malik” lanjut Fitri memberi tekanan. Alot. Aku kabur main futsal.

Nasibku ditentukan esok hari. Belum sampai esok hari. Tiba-tiba malam nya HP ku kembali berdering pesan nya : Ri, kita ini satu tim. Satu sakit, sakit semua. Satu nggak jalan, nggak jalan semua. Pengirim : uline (pasti dia tertawa puas saat mengetik teks pesan itu).

Besoknya kupastikan bahwa saya ikut. Akhirnya kumpul kembali mempersiapkan segala hal. Tanggal 25 Juli supir itu membawa kami menuju Derawan. Sore itu seperti menjadi dinding sejarah keberangkatan kami.

Perjalanan panjang menuju Derawan dengan menggunakan mobil seakan mendukung perangkat geografis pulau Kalimantan yang sangat luas. Hampir 24 jam dalam mobil berjenis Avanza berisi tujuh orang bukanlah perkara mudah. Jika ada kemudahan disitu pasti ada lagi yang tertindas secara tempat dan ruang. Puluhan kilometer kondisi jalan rusak seakan memutarbalikan bahwa pulau ini cukup mampu untuk sekedar membuat jalan mulus. Jika ada sebuah jalanan yang seharusnya kita diwajibkan menggerutu ataasnya tak salah jalan Kalimantan kita kedepankan. Mengingat uang yang berputar di pulau ini sangat berlimpah. Jadi lah kami para pengumpat diam-diam atas kebijakan jalan yang tidak manusiawi ini. Mobil terus berjalan melewati tempat demi tempat hingga siang mendarat di pelabuhan tanjung batu jalur masuk menuju Derawan. Semua tampak ceria seakan lepas dan akan bebas. Karena jiwa mereka terikat oleh jarak psikologis 45 menit menuju Derawan. kali ini kapal kecil membawa harapan itu.

Kapal langsung ke penginapan. Setelah menempati masing-masing, menaruh perlengkapan, memberi kabar ke sanak keluarga tentang perasaan nya maupun kepada teman-teman, maka tak tunggu beberapa lama terdengar suara “Cburr..!” dua manusia menceburkan diri kelaut. Langkah awal untuk menikmati.

Para lelaki menyewa rumah warga sebagai penginapan sedangkan wanitanya menyewa penginapan khusus layaknya turis yang berkunjung. Disana ditemani oleh keluarga Hasan yang sangat ramah yang memiliki 3 orang anak cewek yang masih bersekolah SD itu kami daulat menjadi guide. Menjawab dari pertanyaan yang mencecarnya, memberi pertolongan semampunya, menjadi pendamping yang setia. Begitulah keluarga Hasan.

Saya hanya mendatangi masyarakat disana untuk bercerita berbagai hal. Masih kehilangan sensasi dan menemukan nya di pulau Sangalaki nanti. Adzan maghrib berkumandang. Laut menjadi hening dan tenang. Nelayan sibuk menambatkan kapalnya di posisi aman. Para burung telah berpulang kesarang nya masing-masing. Hanya suara angin yang membawa air laut menjadi gelombang lalu pecah dibibir pantai.

“ Lin panggil teman lainya makan” sms ku pada Uline untuk menikmati hidangan makan malam di rumah tempat kami menginap. Memang biaya nya satu paket dengan urusan perut itu. Sementara Istri pak Hasan masih sibuk mengurusi menu di dapur yang tinggal sentuhan akhir. Saya member i salut terhadap rasa sambel dari buatan nya itu. Dari tahun lalu sampai sekarang tetap tidak berubah. Selalu enak dan membuat ketagihan.

Derawan malam hari seperti wilayah mati tetapi tenang. Sehabis makan mereka bercerita tentang perjalanan kemarin dan apa saja tentang kegiatan esok. Kulihat dari semua wajah mereka yang tersisa hanya kegembiraan dan kepuasan , meninggalkan penat dan lelah hasil perjalanan kemarin yang masih menempel dibadan. Mereka adalah wajah yang tak peduli.

Esoknya saat sang surya mulai menembak kan sinar nya melalui dinding celah kamar yang ada, ku mulai terbangun. Melakukan sejenak ritual pagi dengan iringan bunyi ombak yang deras mengingat mulai masuk musim barat. Fitri, Achi dan Uline masih ngadem di kamar. Aris maupun Jidong terlihat lelap dalam tidur sambil selimutan.

Setelah sarapan lebih awal lalu ku berjalan menuju jembatan melihat aktivitas masyarakat lokal. Para nelayan mempersiapkan kapal pencari nafkah, ibu-ibu sedang membetulkan pakaian sekolah anaknya, penjual kue berseliweran menjajakan dagangan. Pagi di kampung ini begitu sejuk dan hidup sekali. Derawan malam maupun pagi nya adalah oposisi biner. Berlawanan tapi saling mendukung. Dimalam yang pekat akan disusul pagi yang cerah.

Satu persatu mereka mulai bangun dan menuju tempat sarapan pagi dihidangkan. Nasi kuning dan segelas teh hangat pengantar pagi kala itu. Sedangkan tempat penginapan satunya lagi berisi 3 buah kue ‘untuk-untuk yang kusisakan. Mengingat jumlah nya hanya 4 biji. Inipun masih menyimpan pertanyaan “woi, siapa yang makan 2 ?” tanpa melihat jumlah yang pasti ,disana penuh perhitungan sekali. Darurat pagi.

Foto....
Sebuah gambar bernilai lebih dari seribu kata atau bahasa, demikian ujar Confusius. Gambar bisa menjelaskan sendiri sebuah makna. Kamera dan momentum itulah yang kumaksud. Seperti menyatu disetiap perjalanan apalagi jika berbentuk liburan membawanya adalah keharusan. Sebab setiap detik adalah momen yang tak terulang dan langsung menjadi bagian sejarah pelakunya.
Setelah aktivitas sarapan tuntas. Pagi itu tepat jam 9.30 mereka semua bangun dan terlihat sudah siap dengan perasaan memburu momentum. Mereka menuju perkampungan mencari sejarah dalam lensa. Enam orang hadir. Semua siap.

Perkampungan ini memang berkesan klasik, setiap rumah saling berhadapan yang dibelah oleh pasir putih nan keras sebagai jalanan. Disisi jalan banyak ditumbuhi pohon seri dan kelapa. Penginapan pun turut menjajakan mereknya untuk dikunjungi. Ada juga penjual hasil laut berupa kerang-kerangan, cincin sisik dari penyu dan lain sebagainya. Jelas kampung yang tumbuh.

“’klik’’ terdengar saban per menit. Pose sana pose sini tak terhindari. Mencari latar belakang menarik jadi perburuan. Disetiap terdengar kata ‘klik’ kamera dipastikan ada orang yang lagi bergaya.
Semua heboh dalam bergaya. Mulut monyong, tangan membentuk huruf V, mengangkat jempol, tenang, senyum tulus senyum paksa, tegang, tertawa lepas. Bergaya di depan bengunan eksotis, loncat dipantai, ala Nyi Roro Kidul pun di model kan. Ah mereka itu.

Ada teman yang paling dramtis di depan kamera, selalu saja minta di foto. Dia menyalahi semua aturan akan gantian. ‘sstts’ ini kodenya jika ia memanggil orang yang kebetulan memegang kamera. Apapun itu , intinya “klik”. Hanya ada dua gambar yang disenangi semua orang. Pertama wanita cantik, kedua adalah anak-anak. Saya sepenuhnya kurang sepakat. Pertama, mereka bukan anak-anak. Kedua hasil gambar lah yang membuat mereka cantik lebih tepatnya menjadi menarik. (Achi, Fitri, Uline, kalian cantik dan menarik kok… hehehe).

Lihatlah supermodel Naomi Cambel, ia jelas tak cantik untuk ukuran pilihan asia. Tapi ia menarik dibalik lensa dan mata dunia. Ini bukan lagi melihat objek tapi ekspresi gambar yang hidup.

Berenang...
Sore di Derawan. mereka mulai berenang dibibir pantai. Saya tak ikut. Hanya menyaksikan. Diantara mereka si Uline tidak bisa berenang. “ dulu saya bisa berenang, tapi di water park” katanya sambil tertawa. Mengingat Derawan adalah hamparan laut yang tak mengenal batasan kedalaman seperti pada kolam renang. Maka menjaga mahluk itu adalah kewajiban. Tak main – main ia dituntun oleh 3 orang sekaligus sebagai instruktur. Tak ketinggalan ban sebagai pelampung.

“ seperti gaya orang mengayu sepeda !“ Jidong semangat memberi instruksi.

“ kaya kaki anjing sewaktu didalam air “ Aris menimpali lalu memberi contoh tak mau kalah.

Kulihat Achi hanya senyum-senyum dengan sabar menjaga disampingnya jika tiba ia kelelep.

Setelah beberap menit akhirnya ia mulai memberanikan diri untuk diuji. Semua tegang. Semua bersiap siap untuk menyambut jika ia mulai kalut. Mereka bertiga membentuk lingkaran di air. Diposisi tengah disiapkan untuk si Uline yang sengaja naik ke jembatan sebagai landasan untuk melompat lalu berenang kembali naik. Begitu skenario mereka. Semua bersiap, ia pun loncat. Sangat terbalik hasil dari latihan tadi, bagaimana tidak, ia memang loncat, tapi bukan ke wilayah air yang di suruh tapi langsung memegang Jidong yang berada tetap di dekatnya. Ia merupakan manusia pasrahan jika didalam air. Sore itu pecah oleh tawa.

Menu malam hari tampak begitu beda. Ia berasal dari sejenis ikan yang memiliki rasa daging seperti daging ayam. Orang lokal menyebutnya ikan jaket. Sisik nya memang menyerupai jaket ketimbang sisik ikan pada umum nya. Dicampur dengan tepung lalu digoreng. Hasilnya kami lebih menikmati ketimbang pusing mencari tahu nama spesies ikan sebenarnya itu.

Malam hari berkumpul. Merencanakan aktivitas esok. Terdengar pulau Sangalaki di pembicaraan itu. Ternyata pulau itu menjadi tujuan berikutnya. Bersiap-siap.

Ke Pulau Sangalaki....
Ia adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah pulau Derawan masih dalam satu gugusan pulau Kalimantan.. Menempuh waktu satu setengah jam-an dari Derawan. Ada juga pulau Kakaban, Maratua dan Samama di sekitarnya. Sangalaki menjadi tempat tujuan penyu mengeluarkan telur dan tukik yang menggemaskan. Dengan menyewa kapal pak Hasan, kami berangkat dan menikmati sajian siang hari di atas karang yang air lautnya telah surut. Pulau yang indah saat pertama kali menurunkan kaki dari atas kapal. Di wilayah ini juga sering terlihat Manta (sejenis ikan pari) berseliweran berenang. Pulau ini sudah masuk kawasan konservasi penyu. Pulau yang dihiasi oleh Pasir putih yang kasar oleh pecahan kerang, pohon kelapa, terumbu karang yang merekah tempat yang pas buat para penyelam dan memiliki spesies binatang langka. Menjadikan tempat ini menjadi favorit dikunjungi. Seperti pesan yang dikomunikasikan melalui lekukan alam dari Sang Kreator Agung ini betul-betul menggangum kan. Sangalaki. Kutemukan sensasi.

Hari Terakhir....
Besok kami pulang ke Samarinda. Walau hanya empat hari disana semua terasa menyenangkan. Suatu perasaan yang tak bakal kita temukan lagi jika di ibukota yang serba penat, berisik dan tak ada penyu yang menggemaskan untuk dilihat. Jadi malam hari berencana keliling lagi dikampung untuk terkahir kalinya.

“jalan yuk ?” ajak ku pada mereka saat nyantai di penginapan kami.

“ayoooo !” serempak suara mereka, kecuali Aris dan Jidong yang mungkin akan menyusul.

Ini perjanjianku pada mereka sebelum mengelilingi kampung itu bahwa, jika terjadi apa-apa yang berhubungan dengan mahluk gaib, selamatkan diri masing-masing adalah kesepakatan yang terbaik. Sebab pengalaman tahun lalu dengan momen yang sama pasti berakhir dengan perlombaan lari malam hari ditengah kampung pula dan saya pasti kalah. Menyadari orang yang kutemani kali ini hanyalah para wanita memungkinkan ku untuk menang menjadi lebih besar. Hahaha !

Setelah berjalan ratusan meter hal yang ditakutkan pun tak ada. Malah aku yang jalan paling depan diantara mereka. Jalan menyisiri pantai, duduk di penginapan turis asing, berjalan di jembatan adalah aktivitas dimalam hari itu. Ada juga mendapati penyu yang berusaha keras ingin naik ke pantai untuk bertelur tak urung ia lakukan. Gagalnya mendapatkan momen itu pula sebagai penanda berakhirnya kami di sebuah malam di pulau Derawan. kami balik ke penginapan.

Setelah lama berjalan yang didapat hanya lelah dan tidur adalah putusan bulat. Tetapi tak mudah untuk masuk ke kamar malam itu disebabkan oleh kejadian intelektual yang terjadi. Pintu terkunci, tetapi kunci nya tertinggal didalam kamar. Emosional sekali. Pelakunya hanya senyum-senyum saja. Mendebarkan.
Membayangkan tidur dimana adalah isi pikiran bersama, karena tak mungkin membangunkan pemilik rumah untuk dibangunkan yang sudah terlihat pulas dengan guling nya, saat ku mengintip.

“kamu tidur dimana Ri..?” Tanya Aris

“ disitu, sambil menunjuk hamuk (gantungan tempat tidur) yang sudah siap”

“ kamu berdua dimana..?” Aris menunjuk jembatan dan Jidong sibuk menyapu pandangan mencari tempat tidur.

Akhirnya meminjam kunci ke kamar wanita, asal bisa masuk dalam lubang kunci walau ia tak cocok dan mengharap keberuntungan terjadi. Walau mereka (wanita-red) sudah menawarkan bagian kamar mereka untuk kami tempati tidur malam itu. Tapi kami tolak sejenak sebelum berusaha membuka pintu kamar yang sembilan puluh persen mengharapkan keajaiban. Akhirnya pintu juga terbuka dengan bakat Aris sebagai ‘mantan maling’ lokal. Tidur.

30 Juli. Kami bersiap untuk pulang setelah shalat jumat. Mengepak seluruh barang, membayar administrasi dan berfoto bersama. Akhirnya kami benar-benar keluar seluruhnya dari pulau itu. Disana kapal sudah siap mengantar kepulangan kami. Samarinda dalam bayangan.

Derawan dan pulau sekitarnya memang membawa suasana keriangan. Sebut saja kampung yang dihuni oleh penduduk yang ramah, menu yang mengaduk selera, terumbu karang yang mempesona serta organisme laut yang unik . Sangalaki juga memiliki ceritanya sendiri . Disana sebut saja sebagai tempat terakhir bagi penyu bertelur lalu meninggalkan anaknya dan wilayah khusus Manta yang berenang bak layang-layang raksasa di laut serta dihiasi sekempulan dari wajah teman yang bahagia, kebersamaan yang tercipta dan kelucuan yang menyegarkan. semua terhampar dengan indah. Semua tertutup dengan sempurna. Terima kasih Tuhan atas segalanya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by ThemeShift | Bloggerized by Lasantha - Free Blogger Templates | Best Web Hosting